Salah satu daya tarik Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo
Situbondo adalah bidang FIQH, terutama lembaga pengkaderan ilmu fiqh
yang dikenal dengan Ma’had Aly. Sudah ratusan ahli fiqh yang pernah
digembleng di Pesantren Sukorejo. Namun, siapakah sebenarnya sang
arsitek keilmuan di Pondok Sukorejo tempo dulu, sehingga Sukorejo
dikenal sebagai gudangnya fuqaha’?
Sang arsitek itu, Kiai Haji Raden Dhofier Munawar atau yang lebih
dikenal dengan sapaan Syeikh Dhofier. Syeikh Dhofierlah yang mengurusi
segala sesuatu yang berkaitan dengan keilmuan di Pesantren Sukorejo.
Apalagi, sejak tahun 1974 sampai meninggalnya, jabatan beliau adalah
mansya’.
Syeikh Dhofier memang dikenal alim, terutama dalam bidang fiqh.
Bahkan konon, Kiai As’ad sendiri mengakui: dalam bidang fiqh beliau
kalah dibanding sang menantu, Syeikh Dhofier.
Pengembaraan Syeikh Dhofier dalam bidang keilmuan mulai diasah di
Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-guluk Sumenep. Di pesantren ini, beliau
digembleng sendiri oleh kakak iparnya, KH. Abdullah Bajjad. Kiai
Abdullah ini suami Nyai Shafiyah, kakak kandungnya. Di Guluk-guluk
Syeikh Dhofier melahap semua kitab-kitab ilmu alat, semacam nahwu dan
sharraf.
Belum puas menimba ilmu di Annuqayah, Syeikh Dhofier melanjutkan
pengembaraannya di Pondok Pesantren Sidogiri, dibawah asuhan KH. Abdul
Djalil. Di Pesantren Sidogiri ini, Syeikh Dhofier pernah diangkat
sebagai “kelurahan” pondok pesantren. Menurut penuturan beberapa
temannya, Syeikh Dhofier terkenal dengan kewara’an dan kealimannya.
Bahkan beliau dikenal sebagai “Macan Sidogiri”. “Banyak santri yang
antri sorogan kitab kepada beliau di asramanya,” imbuhnya.
Setelah di Sidogiri, Syeikh Dhofier melanjutkan pengembaraannya ke
Pondok Pesantren Lasem Jawa Tengah, asuhan Kiai Maksum. Di Pesantren
ini, konon beliau hanya untuk mencari barokah. Dan tidak beberapa lama
kemudian, Kiai As’ad memanggilnya untuk membantu Pondok Pesantren
Sukorejo.
Kiai kelahiran 1923 tersebut lalu dikawinkan dengan Nyai Zainiyah
As’ad. Syeikh Dhofier dan Kiai As’ad sebenarnya masih famili;
silsilahnya bertemu di Kiai Ruham, sang kakek. Syeikh Dhofier ini putra
bungsu Kiai Munawar bin Kiai Ruham. Pasangan Syeikh Dhofier-Nyai Zai ini
akhirnya diberi karunia empat putri dan seorang putra; yaitu Qurratul
Faizah, Tadzkirah (meninggal usia 6 tahun), Uswatun Hasanah, Umi Hani’,
dan Imdad Ibrahimy yang kemudian berganti nama Azaim Ibrahimy.
Syeikh Dhofier terkenal dengan kealimannya dalam bidang fiqh dan
tasawuf. Menurut Syeikh Dhofier, antara fiqh dan tasawuf tidak bisa
dipisah-pisahkan. Karena, “Sebenarnya tasawuf merupakan intisari ilmu
fiqh. Sedangkan ilmu balaqhah merupakan intisari ilmu nahwu,” tuturnya.
Syeikh Dhofier mengabdikan dirinya, untuk mengembangkan Pondok
Pesantren Sukorejo dalam bidang keilmuan. Ia habiskan hari-harinya,
untuk mengajar mulai dari kitab yang kecil sampai yang besar. Di
antaranya kitab Taqrib, Zubat, Taqrir, Kifayatul Ahyar, Iqna’, Fathul
Wahab, dan Tafsir Jalalain. Beliau juga mengarang kitab “Syaribatus
Saiqah” dan buku “Leluhur KHR. As’ad Syamsul Arifin”.
Setiap Ramadhan, termasuk Ramadlan 1405, Syeikh Dhofier memberikan
pengajian Tafsir Jalalain. Banyak santri, alumni, dan masyarakat yang
mengikuti pengajiannya. Sayangnya, saat itu Tafsir Jalalain yang
dibacanya, tidak seluruhnya tamat, hanya sepertiga kitab. Sebab beliau
terserang penyakit. Pada tgl 10 Ramadlan 1405 atau 30 Mei 1985, sekitar
jam dua dini hari, Syeikh Dhofier meninggal dunia.